"Mayoritas anak-anak jaman sekarang hidup dalam tuntutan mengenal
masa depan (tampak seperti proses pendewasaan sejak dini), dan mereka
adalah anak-anak yang terenggut 'masa kecil bahagia'nya." #PsikologAnak
Saya
punya seorang murid. Kedua orang tuanya pekerja. Setiap pagi dia masuk
sekolah pukul 7.00 dan pulang pukul 14.00. Setelah itu, orang tuanya
mengikutkan dia dalam les bahasa inggris, les matematika, les 'semua
subjects', les renang, les piano, les gitar, bela diri, dll. Dan hampir
setiap hari pula saya melihat badannya yang besar berjalan lesu, matanya
yang besar bulat menampakkan kelelahan, suaranya yang berat dan hanya
saat dia bermainlah dia bisa melompat dengan girang. Biasanya ia suka
membawa mainan-mainan bagus dan mahal, dan mengajak teman-temannya
bermain. Ia tampak begitu manja. Ia tampak begitu rapuh. Dengan mudahnya
ia mampu menangis, misalnya karena ejekan teman-temannya, atau jika
teman-temannya tidak mengacuhkannya.
Semua itu hanya
gambaran kecil tentang seorang anak, yang merupakan salah satu dari
komunitas besar 'anak-anak masa kini' yang sedang merajalela di
masa-masa sekarang ini, seperti apa yang saya kutip dari kata-kata
seorang psikolog di awal note ini. Komunitas besar anak yang terenggut
masa kecil bahagianya. Sangat disayangkan bahwa di masa kini, terlalu
banyak faktor-faktor yang merenggut 'kemurnian pikiran dan kebahagiaan
anak'. Diantaranya adalah - yang membuat saya benar-benar tidak habis
pikir - perencanaan para orang tua kelas atas dan berpendidikan. Entah
apa yang direncanakan para orang tua itu. Menuntut anak-anak mereka yang
masih kecil untuk mengerjakan ini dan itu. Belajar ini dan itu. Sejak
dini memasukkan anak-anak mereka ke sekolah yang bagus, tempat-tempat
kursus terbaik, berusaha membuat anak mereka menguasai beragam
keterampilan, menuntut prestasi akademis yang tinggi. Mereka berusaha
menjadikan anak mereka sesempurana mungkin. Benar-benar hidup yang
melelahkan terutama bagi anak-anak, namun banyak yang harus
menjalaninya.
Faktor lain yang membuat saya kecewa pula
adalah aturan pendidikan formal. Entah hal apa yang membenarkan
pendidikan formal mendominasi kehidupan anak dan menyisihkan masa
bermain dari hidup mereka. Bagaimana mungkin seorang anak kelas I
sekolah dasar selesai jam sekolahnya pukul 14.00, dan masih ada bimbel
dan semacamnya. Bagaimana mungkin pendidikan formal mengesampingkan
pandangan-pandangan psikologi anak. Tentunya setiap anak melewati
beberapa fase dalam hidupnya, salah satunya adalah fase bermain dan
belajar dengan intuisinya. Seharusnya anak-anak banyak mengenal
lingkungan dan alam sekitarnya, belajar mengikuti intuisinya, dan
melakukan beragam hal yang menyenangkan dan berguna. Mengapa mereka
harus duduk di bangku sekolah seharian, lalu mengerjakan PRnya di Rumah
dan mengikuti bimbel? Tidakkah semua itu benar-benar tampak seperti
pendewasaan dini yang dipaksakan? Ketika aturan pendidikan formal yang
sebenarya tampak konyol itu dipertanyakan, alasan yang dikemukakan
adalah : anak-anak sebaiknya belajar mengenal beragam hal sejak dini,
agar mereka benar-benar dapat mempersiapkan diri dengan baik di masa
depannya kelak. Sungguh konyol bagi saya. Orang tua berkewajiban
mendidik anak dan mendampinginya berkembang, sementara pendidikan agar
anak dapat mengenal, namun keduanya tidak berhak mengatur dan membentuk
kehidupan anak yang aman, nyaman, damai, dan indah kelak, sesuai
keinginan mereka.
Saya pribadi pernah melewati masa
kecil yang lumayan baik, tidak buruk juga. Saya lahir di tengah-tengah
keluarga yag sederhana secara ekonomi. Ketika saya masih kecil, saya
bersekolah di pagi hari, dan bermain sepulang dari sekolah. Saya bermain
dengan teman-teman dan berpetualang, Saya balajar dan mengerjakan PR di
malam hari, lalu sempat mengaji bersama teman-teman. Proses belajar
saya dipenuhi tuntutan dari orang tua untuk selalu meraih prestasi yang
bagus dalam bidang akademik. Namun orang tua juga tidak mengekang masa
bermain saya. Saya bermain seperti anak-anak lainnya, begitu pula
teman-teman saya. Masa kecil bahagia kami tidak terenggut.
Sementara
anak-anak sekarang harus belajar ini-itu. Harus mengikuti kursus
ini-itu. Terbengkalai dari kasih sayang karena kesibukan orang tua
bekerja, tenggelam dalam permainan-permainan yang menjerumuskan (Games
online yang berbahjaya, PSP, PS, dll), dan tidak begitu mengenal alam
sekitarnya. Mungkin semua itu adalah penyebab mereka cenderung bersikap
manja, memiliki emosi yang begitu labil, dan cenderung rapuh. Sementara
anak-anak masa dulu yang bebas bermain, berkutat dengan alam,
berpetualang, sehingga mereka memiliki pribadi yang cukup tegar, emosi
yang lebih stabil, kedewasaan yang tidak dipaksakan, dan lebih
bertanggung jawab, serta tidak mudah galau dan alay.
Jadi,
apa yang bisa kita lakukan? Bagaimana kehidupan anak-cucu kita kelak?
Akankah lebih baik atau semakin terjerumus? Mari kita pikirkan.